Tionghoa, Perwujudan Budaya Heterogen di Indonesia
Peranakan Tionghoa selama ini dianggap sebagai komunitas dengan stereotipe khas Orde Baru.
"Indonesia,
begitu istimewa. Ibu pertiwi. Negeri nan elok, hijau bagaikan untaian
zamrud di tengah khatulistiwa, indah, dan subur. Namun, ada satu hal
lagi yang begitu istimewa tetapi sering dilupakan orang dari negeri yang
elok, yaitu kekayaan budaya." Andrew A. Susanto, Ketua Umum Asosiasi Peranakan Tionghoa Indonesia (ASPERTINA).
Kecintaan Andrew terhadap Indonesia begitu terasa saat menuliskan
"Rayuan Pulau Kelapa" karya Ismail Marzuki. Liriknya mengenai keelokan
Indonesia mengharu biru, penuh rasa syukur. "Cinta, itulah yang saya
rasakan dalam hati," tulis Andrew dalam sambutan buku "Peranakan
Tionghoa di Nusantara. Catatan Perjalanan dari Barat ke Timur" karya
Iwan Santosa.Dirilis Kamis (31/5), buku setebal 316 halaman ini berisi hampir 80 artikel mengenai kehidupan warga Tionghoa di Indonesia. Peranakan Tionghoa selama ini dianggap sebagai komunitas dengan stereotipe khas Orde Baru: antisosial, gila uang, dan tidak peduli lingkungan. Di sinilah peran tulisan Iwan Santosa bermain. Dengan menjelaskan pada masyarakat awam mengenai sisi lain masyarakat Tionghoa yang selama ini salah dimengerti.
Dijelaskan dengan sangat santai dan manusiawi, cerita tentang peranakan Tionghoa yang miskin dan melarat. Bahkan ada kalanya kemiskinan itu tidak diakui oleh pejabat pemerintah. Dikatakan Dali S.Naga sebagai Koordinator Pusat Studi Budaya Tionghoa Universitas Tarumanegara, penulisan buku ini melibatkan tiga sumber utama, yaitu sejarah, wawancara para pakar dan orang setempat, serta liputan.
"Buku ini merupakan salah satu upaya dalam pelestarian budaya Tionghoa. Secara keseluruhan buku ini sangat mencerahkan. Banyak tradisi yang tidak banyak diketahui masyarakat diungkap dalam buku ini," kata Dali.
Ditambahkan ahli sejarah Asvin Warman Adam jika buku ini juga menggambarkan keprihatinan tentang warisan Tionghoa yang semakin hilang. Baik dalam wujud benda atau pun tidak. Selain itu dijabarkan pula jika tidak semua orang Tionghoa kaya. "Perlu diadakan pengajaran sejarah di sekolah tentang sejarah dan kebudayaan Tionghoa, karena kontribusi kalangan Tionghoa juga besar di Indonesia," kata Asvin.
Iwan Santosa menggambarkan hubungan masyarakat Tionghoa dengan suku bangsa lain di Nusantara "seperti ikan dengan air." Wartawan Kompas sejak tahun 2001 ini ingin membuka sisi lain kebinekaan dan persaudaraan yang beragam terlepas dari prasangka politik ciptaan penguasa.
(Zika Zakiya/Rachel Tupamahu)