Thursday, October 10, 2013

Banyak orang berpikir muluk-muluk untuk melakukan perubahan. Faktanya, hanya orang-orang yang sederhana atau mampu menyederhanakan pikirannya sajalah yang mampu melakukan perubahan.

Mereka yang Melakukan Perubahan dengan Cara Sederhana

  • Jumat, 11 Oktober 2013 | 10:46 WIB
Rhenald Kasali | KOMPAS IMAGES
                                                           Rhenald Kasali
                                                        (@Rhenald_Kasali)

JAKARTA, KOMPAS.com - Banyak orang berpikir muluk-muluk untuk melakukan perubahan. Faktanya, hanya orang-orang yang sederhana atau mampu menyederhanakan pikirannya sajalah yang mampu melakukan perubahan.

Celakanya, menyederhanakan pikiran itu butuh kerja keras, dan tak semua orang pandai bisa melakukannya. Kalimat itu pernah diucapkan oleh Albert Einstein.

Di puncak kawah gunung Kelimutu saya bertemu dengan aktivis penggerak kelompok-kelompok tani dari Flores yang minggu ini mendapat penghargaan Kusala dari Yayasan Bina Swadaya. Sebagai ketua Dewan Juri, saya tentu tertarik menelisik sekaligus menularkan spirit perubahan orang-orang sederhana ini.

Sementara itu, dari Pulau Adonara (NTT), saya bertemu seorang wirausaha sosial yang tak kalah canggih. Adalah Kamilus Tupen, dia bukanlah seorang sarjana atau calon sarjana seperti Anda. Ia hanya warga biasa yang sama-sama kesulitan mendapatkan pekerjaan.

Pulau Adonara dulu banyak dikenal sebagai kampung kematian karena tradisi perang suku. Saat kami masuk kampung, yang terdengar hanya dentuman orang menumbuk jagung titi, makanan khas Adonara.

Sepulang dari Malaysia, Tupen, mantan TKI ini, segera mewujudkan mimpinya, yaitu mendirikan kelompok tani, dan berhasil mewujudkan desanya menjadi desa produktif. Bisakah?

Problem Indonesia Bagian Timur

Kalau Anda pernah menangani projek di NTT, Maluku dan Papua, saya kira Anda paham yang saya maksud. Kita sama-sama kesulitan mencari tenaga tenaga terampil yang siap bekerja untuk menjadi tukang dan pelayan dengan disiplin dan waktu yang sudah ditetapkan.

Pengusaha atau manajer proyek yang sudah terikat kontrak biasanya kehabisan akal, lalu  mendatangkan buruh dari Pulau Jawa. Maklum di Jawa kita punya bonus demografi yang lebih baik. Sementara makin ke Timur, orang belum terbiasa bekerja dengan enduransi yang tinggi, tahan berbulan-bulan untuk melakukan hal yang sama dalam waktu 8-10 jam sehari.

Di Indonesia bagian timur, alamnya memang berbeda dari Indonesia bagian barat. Udaranya panas, biaya hidup tinggi, dan sejarahnya berbeda. Di beberapa provinsi, tak sedikit tenaga kerja datang dari kelompok masyarakat adat yang masih disibukkan dengan tradisi guyub dan  perambah hutan.

Jelas kondisi ini menjadi masalah besar bagi sebuah industri, pembangunan infrastruktur, serta pertanian skala besar.

Kamilus menyadari itu. Sementara, di kampungnya ada begitu banyak ladang pertanian yang kosong, beserta masyarakat yang miskin dan rumah-rumah yang dibangun ala kadarnya karena tak punya cukup uang. Padahal mereka punya banyak tenaga kerja yang menganggur.

Tradisi Gotong Royong

Melihat kondisi yang memprihatinkan itu, Kamilus Tupen punya inisiatif  menolong masyarakatnya. Di sana, masyarakat memiliki tradisi gotong royong atau gemoheng yang cukup kuat. Tradisi itu ia adopsi, digabungkan dengan kelompok tani yang ia namakan Lewowerang. 

Kelompok tani ini hanya memberi pinjaman berupa tenaga kerja untuk membangun rumah, membersihkan kebun, menanam atau mengupas ubi. Namun juga memberi pinjaman tenaga kerja untuk kegiatan ekonomi poduktif.

Seorang ibu yang kebunnya terlantar, misalnya, perlu modal sebesar Rp 15 juta dari kelompok. Dengan mendapatkan voucher sebesar Rp 15 juta, maka ia berhak mendapatkan tenaga kerja.

Kamilus lalu keliling kampung, mencari anggota-anggotanya. Kebun itu lalu ditanami beramai-ramai dan kelak peminjam akan mengembalikan utang tenaganya kepada kelompok dalam kerja gemohing yang dikoordinir Kamilus.

Waktu bergulir terus, semakin banyak rumah yang diperbaiki, dan makin banyak kebun yang terurus, lalu Dusun Honihama yang sunyi di Adonara berubah menjadi desa produktif yang terorganisir dengan baik dan menghasilkan produk pertanian yang memberi nilai tambah.

Ketika ditanya, apalagi yang ia inginkan, Kamilus hanya berkata sederhana, "Saya ingin metode ini bisa dipakai di desa-desa lain di Indonesia."

Itulah sebabnya Kamilus layak mendapatkan Kusala Award. Ia merupakan contoh seorang pejuang sosial yang gigih.